Kemitraan dengan Membangun Kebun Masyarakat Ada Masalahnya

Seminar dengan tema
Seminar dengan tema "Kewajiban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Memfasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat” di Hotel Gran Melia, mencari solusi atas penerapan ketentuan 20% lahan perusahaan perkebunan untuk perkebunan masyarakat. Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, mewajibkan setiap perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan, seperti diatur dalam Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani, aturan yang dikeluarkan pemerintah bermaksud baik, membangun kemitraan dengan masyarakat.

Namun di lapangan pengaturan tersebut masih menimbulkan beberapa kendala dan permasalahan dalam implementasinya karena masih adanya ketidakpastian hukum, kerancuan dan multitafsir bagi para perusahaan, Gubernur dan Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan lainnya.

“Kondisi tersebut disebabkan, antara lain, pengaturan dalam regulasi dan/kebijakan yang satu dengan lainnya masih inkonsisten, mekanisme pelaksanaannya belum diatur secara jelas dan tegas.”

“Perhitungan 20% masih belum jelas sehingga belum terdapat kesatuan pengaturan dan penafsiran yakni apakah perhitungannya berdasarkan dari luasan areal berdasarkan IUP atau Hak Guna Usaha (HGU) atau areal tertanam,” Mangga Barani pada saat sambutan pengantar Seminar dengan thema “Kewajiban Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Memfasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat”di Hotel Gran Melia, Jakarta, Rabu (12/12/2018).

Saat membuka seminar, Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menjelaskan pemerintah sudah menyiapkan sejumlah aturan untuk memudahkan pelaku usaha perkebunan.

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium sawit bisa menjadi acuan pendataan laha perkebunan sawit.

Musdhalifah menyebut Inpres bakal mempercepat pelaksanaan aturan selama tiga tahun dalam rangka mengevaluasi lahan sawit di Indonesia.

“Semuanya kami harmonisasi karena tidak ada yang kontradiktif satu sama lain,” ujarnya.

Porsi 20% di Luar HGU

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang menegaskan porsi 20% yang dimintakan kepada pengusaha sawit adalah di luar HGU yang sudah dimiliki.

Artinya, pengusaha harus menambah 20% kepemilikan lahan untuk diberikan kepada petani rakyat.

Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun tersebut harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat tiga tahun sejak Hak Guna Usaha diberikan dan harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

“Perusahaan Perkebunan yang melanggar kewajiban tersebut dikenai sanksi administratif berupa: denda; pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/ atau pencabutan Izin Usaha Perkebunan.”

“Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah yang sampai sekarang masih dalam proses penyusunan,” jelas Bambang.

Adapun kriteria masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta yaitu: masyarakat yang lahannya digunakan untuk pengembangan perkebunan dan berpenghasilan rendah sesuai peraturan perundang-undangan; harus bertempat tinggal di sekitar lokasi IUP-B atau IUP; dan sanggup melakukan pengelolaan kebun serta ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan usulan dari camat setempat.

Pelaksanaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat oleh perusahaan penerima IUP-B atau IUP didampingi dan diawasi oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan yang meliputi perencanaan, pemenuhan kewajiban dan keberlanjutan usaha.

Gubernur, bupati/walikota dan Perusahaan Perkebunan memberi bimbingan kepada masyarakat untuk penerapan budidaya, pemanenan dan penanganan pascapanen yang baik.

Selanjutnya Pasal 16 mengatur bahwa kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dilakukan dengan memanfaatkan kredit, bagi hasil dan/atau bentuk pendanaan lain sesuai dengan kesepakatan dan peraturan perundang-undangan.

Namun, ketentuan tentang kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat tidak diberlakukan terhadap badan hukum yang berbentuk koperasi.

Oleh karena itu, Bambang menyatakan Inpres moratorium menjadi penting untuk mendapatkan data luasan lahan tertanam dan kawasan konversi hutan yang bisa dijadikan lahan sawit rakyat.

Apalagi dalam data hasil koordinasi supervisi KPK, luas areal lahan sawit HGU adalah 20 juta, sedangkan yang tertanam 16,83 juta hektare.

“Selisih dari 20 juta hektare ke 16,8 hectare ini yang akan dievaluasi dan bisa digunakan untuk fasilitasi masyarakat ini,” tutur Bambang.

Adapun dalam catatan statistik Kemtan, luas lahan sawit saat ini adalah 14,31 juta hektare, perkebunan rakyat seluas 5,81 juta hektare, perkebunan negara seluas 713.000 hektare, dan milik swasta adalah 7,79 juta hektare.

Kemudian, realisasi pembangunan kebun masyarakat sejak 2007 yang dilakukan Kementan telah mencapai 623.114 ha dari target tahun 2017 di 874.398 ha.

Teknis dan penegasan ini akan di atur dalam PP yang diharapkan dapat terbit dalam waktu dekat. “Setidaknya dalam masa jabatan DPR ini,” kata Bambang.

Tidak Sesuai Kenyataan 

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono berharap pemerintah dapat segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur izin usaha perkebunan, terutama dalam isu fasilitasi perkebunan kelapa sawit rakyat.

Pasalnya regulasi yang mengatur isu ini tersebar dalam sejumlah Peraturan Menteri, Instruksi Presiden dan Undang-Undang tentang Perkebunan.

Harapannya melalui PP, maka teknis pelaksanaan evaluasi, konversi kawasan hutan dan fasilitasi perkebunan rakyat dapat disatukan, terutama terkait teknis penyerahan 20% dari total area Hak Guna Usaha untuk petani rakyat.

“Aturan terkait lahan sawit tumpang tindih dan diatur oleh terlalu banyak beleid. “Ini banyak regulasi nya bahkan cenderung overrated, apakah melalui juknis atau PP bisa perkaya untuk solusi ini,” ujar Joko.

Aturan terkait pengadaan lahan kebun ini memang tumpang tindih dan lintas kementerian.

Pertama adalah Undang-Undang 39 tahun 2015 tentang Perkebunan yang menyebutkan perusahaan perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah 20% dari total luas areal kebun perusahaan.

Kedua, aturan ini lebih dirinci dalam hal luas lahan melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 98 tahun 2013 yang merinci perusahaan dengan luas 250 hektare atau lebih berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat 20% luas areal.

Ketiga, terkait bentuk kerjasamanya, tertera dalam Permen Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional nomor 7 tahun 2017 tentang pengaturan dan tata cara penetapan HGU.

Dijelaskan bahwa pemegang HGU wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari luas tanah yang dimohonkan untuk masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan alias plasma.

Keempat, untuk penyediaan lahan 20% tersebut bisa berasal dari hasil konversi lahan yang diatur dalam Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) nomor 51 tahun 2016 tentang tata cara pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa Hutan Produksi Konversi (HPK) yang bisa disediakan untuk penyediaan kebun masyarakat seluas 20% dari total kawasan hutan.
Kelima, pada Permen KLHK 5 tahun 2018 dirinci, kawasan hutan pada permen 51 tahun 2016 berasal dari Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Padahal di kehidupan nyata, Joko mencontohkan bila pengusaha mendapatkan izin lokasi seluas 20.000 hektare, kemungkinan HGU yang bisa diusahakan adalah 10.000 hektare karena sisanya masuk dalam kawasan desa atau lahan garapan yang tidak bisa dibebaskan sehingga kemungkinan yang bakal tersisa adalah 15.000 hektare sedangkan yang ditanami kurang dari itu.

Klusterisasi Petani Rakyat

Oleh karena itu, bila pemerintah meminta pengusaha menambah pengadaan 20% dari lahan yang sudah mereka miliki untuk diberikan dan difasilitasi untuk rakyat, akan berat dan memakan terlalu banyak waktu dan pita birokrasi.

Maka, Joko mengajukan definisi 20% bisa diambil dari kawasan kemitraan pengusaha yang sudah eksisting atau melalui program klusterisasi petani rakyat.

“Karena tidak mungkin bagi kita membuka lahan baru untuk rakyat karena ada inpres moratorium sawit,” katanya.

Ingat saja Instruksi Presiden nomor 8 tahun 2018 menerapkan penghentian pemberian izin buka lahan baru untuk keperluan pendataan demi peraturan-peraturan menteri yang sebelumnya telah disebutkan.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Arie Sukanti mengungkapkan pemerintah harus membentuk PP sebagai tindak lanjut UU Perkebunan.

Aturan baru juga harus melibatkan pelaku usaha yang terdampak oleh regulasi.

Contohnya, penjelasan tentang kewajiban pembangunan lahan 20% untuk petani rakyat.

Kriteria petani swadaya pun mesti dipaparkan secara jelas dalam peraturan agar memberikan kepastian hukum.

Namun, Inpres hanya bersifat instruksi dari presiden kepada bawahannya dan tidak mengikat pihak ketiga.

“Kewajiban pelaksanaan penyediaan pembangunan perkebunan masyarakat dalam PP harus segera dibuat dan memberikan pengaturan yang rinci,” pungkas Arie. (*)