Kelapa Sawit dan Undang-Undang Kehutanan

Hariadi Kartodihardjo
Hariadi Kartodihardjo

TROPIS.CO – Perubahan suatu Undang-undang seharusnya didasarkan pada hasil evaluasi pelaksanaannya. Pelaksanaan suatu Undang-undang tidak dapat dilihat hanya dari isi pasal demi pasal secara parsial, tetapi juga perlu melihat keseluruhannya, serta dari pelaksanaan peraturan turunannya, maupun kapasitas lembaga-lembaga pelaksananya.

Hal itu penting, karena kebanyakan orang melihat atau merasakan masalah di lapangan dan dari situ langsung menyarankan perubahan isi Undang-undang. Padahal persoalan di lapangan disebabkan oleh banyak faktor.

BACA JUGATranstoto : Soal Revisi UU 41/1999, Ada yang Krusial Diperbaiki

Penyebab deforestasi secara umum—dengan bahasa ekonomi—dapat dianggap sebagai gagalnya Pemerintah mengintervensi pasar, sehingga pemanfaatan hutan/lahan yang lebih produktif—melalui mekanisme pasar—bisa mengingkari fungsi-fungsi kawasan sesuai penataan ruang.

Tetapi kerusakan hutan itu juga bisa akibat design pembangunan yang disengaja (planned deforestation). Dari data KLHK 2015 misalnya, dari 12,7 juta luas kebun sawit, 3 juta Ha diantaranya berasal dari konversi hutan yang terjadi di tahun 1990 (Prasetyo, 2017).

BACA JUGATranstoto : Soal Revisi UU 41/1999, Ada yang Krusial Diperbaiki

Data yang dihimpun dalam pelaksanaan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo di Riau (2017) juga membuka kenyataan bahwa di lokasi Taman Nasional Tessonilo seluas 81.793 Ha, yang menjadi kebun sawit seluas 44.544 Ha (54%).

Areal eks PT Hutani Sola Lestari seluas 45.990 Ha dan areal eks PT Siak Raya Timber seluas 38.560 Ha, yang telah menjadi kebun sawit seluas 55.834 Ha (66%). Sebelas perusahaan kebun sawit yang telah mempunyai HGU seluas 70.193 Ha, diantaranya seluas 15.808 Ha di dalam kawasan hutan.

Mekanisme penggunaan kawasan hutan oleh kebun sawit juga dilakukan melalui proses penetapan tata ruang (state capture). Pada 25 September 2014, Annas Maamun mantan Gubernur Riau, tertangkap tangan oleh KPK di Jakarta sedang menerima suap.

Uang suap itu terkait alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan untuk kebun sawit dalam proses penetapan RTRWP Riau. Terkait dengan hal-hal seperti itu, Dinas Perkebunan Propinsi Riau dalam pelaksanaan koordinasi dan supervisi oleh KPK, 2016, menyatakan bahwa dari 474 perusahaan kebun di Riau, 127 di antaranya tidak berizin.

Batasan Hutan
Dalam Undang-undang No 41/1999 tentang Kehutanan, tidak disebut komoditi atau jenis tanaman. Di dalam batasan hutan disebut “dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya” yang berhubungan dengan kalimat sebelumnya yaitu “suatu kesatuan ekosistem”. Maknanya, pengertian hutan itu terikat pada fungsi yang ajeg, karena senantiasa mengemban fungsi lingkungan hidup atau daya dukung lingkungan.

Oleh sebab itu, pengertian “kawasan hutan” di dalam Undang-undang 41/1999 tentang Kehutanan, dimaknai sebagai hutan tetap; tidak pernah dimaknai sebagai hutan negara (saja), seperti yang biasa digunakan dalam percakapan, bahkan dalam pembuatan kebijakan.

Secara tersirat, dengan tiga kriteria itu, dominasi pepohonan dapat berupa pohon apa saja, tetapi yang tidak dapat dibuang yaitu “persekutuan dengan lingkungannya”; sebagai perwujudan hutan yang bukan sekedar penjumlahan pohon-pohon dan binatang-binatang. Karena di negara tropis, maka yang ideal adalah hutan alam atau campuran yang lebih dapat membentuk sistem biotik dan abiotik dan lebih mungkin dapat mewujudkan keseimbangan ekosistem.

BACA JUGA: Tantangan Penyusunan RUU Kehutanan

Dari kacamata ekologi politik, kenyataannya, komoditi adalah bagian dari kontrol kekuasaan. Dengan komoditi tertentu yang dikuasai oleh Kementerian/Lembaga tertentu, dikontrol melalui regulasi tertentu pula. Misalnya, rakyat harus membuktikan kepemilikan dan mengikuti regulasi tata niaga—kayu jati

sebagai contoh—karena regulasi tadi, walaupun jelas-jelas ditanam di tanah miliknya. Sementara komoditi lainnya: ayam, ikan, padi, buah-buahan yang dihasilkan dari tanah yang sama, tidak ada regulasi tata niaganya. Hal lainnya, apabila kelapa sawit menjadi bagian dari hutan, maka (harus) diwajibkan mengikuti regulasi yang berlaku di kehutanan?

Penyelesaian Substantif
Untuk menghindari hambatan perdagangan produk kelapa sawit akibat deforestasi misalnya, semestinya ditangani secara substansial, bukan secara administratif dengan cara memasukkan kelapa sawit menjadi bagian dari hutan; dengan maksud deforestasi tidak terjadi atau kawasan hutan semakin luas.

Sebaliknya, jikapun kelapa sawit dimasukkan kedalam pengertian hutan sebagai salah satu jenis pepohonan, tujuannya misalnya untuk meningkatkan produktivitas lahan serta keadilan distribusi manfaatnya, dengan syarat memenuhi tiga kriteria di atas.

Adanya kampanye negatif terhadap komoditi sawit dan turunannya, sebaiknya diletakkan pada tempat yang berbeda. Sebab, apa-apa yang disebut dalam kampanye negatif itu bisa mengandung informasi mengenai kenyataan dan kebenaran.

BACA JUGA: Strict Liabilty Terhadap Pertamina

Misalnya mengenai masalah-masalah masyarakat adat dan lokal seperti perampasan tanah, deforestasi dan pemusnahan habitat satwa liar, penggusuran wilayah adat akibat lokasi perizinan, pencemaran sungai, suap/peras “tokoh adat”, jual-beli tanah manipulatif ataupun indikasi pelanggaran HAM. Fakta seperti itu terdokumentasi dengan baik, misalnya dalam laporan national inquiry KOMNAS HAM.

Di saat Pemerintah saat ini sedang menjalankan political will meningkatkan akses dan memulihkan hak atas sumberdaya alam bagi masyarakat lokal dan adat, bahkan di lapangan kriminalisasi rakyat miskin sering dijumpai. Bahwa segala catatan negatif di atas menjadi berita yang diulang-ulang muncul di media – dan ini mungkin yang dianggap sebagai kampanye, karena persoalannya tidak kunjung selesai.

Dan dengan menyebutnya sebagai kampanye negatif, persoalan nyata yang merugikan banyak pihak itu seperti sengaja ditenggelamkan. Bahkan pengungkapnya, alih-alih dihargai, bahkan bisa diperlakukan atau distigmatisasi sebagai anggota kelompok yang menjadi musuh negara.

Soal Tata Kelola
Hutan yang rusak oleh berbagai sebab, bisa diakibatkan oleh satu penyebab yaitu pengelolaannya di lapangan yang lemah. Dan itu akibat masalah kelembagaan dan buruknya tatakelola (bad governance); gap pusat-daerah saat ini masih cukup tinggi.

Upaya pergeseran dari era HPH tahun ‘70an menjadi era KPH saat ini masih terdapat hambatan. Anggapan era windfall profit dan pendanaan swasta tahun ‘70an bahkan ada yang masih berjalan, sehingga dinas-dinas tertentu di daerah ataupun KPH-KPH tidak mendapat anggaran sebagaimana mestinya, karena masih dianggap bisa memperoleh “dana suka-rela” dari swasta yang diurusnya.

Akibatnya, urusan legalitas yang memisahkan kawasan hutan dan tanah negara maupun lokasi-lokasi yang secara de facto dimanfaatkan masyarakat adat dan lokal maupun pendatang, belum mencerminkan tujuan legalitas yang sesungguhnya. Itu antara lain akibat dari proses legalitas perizinan lebih mengutamakan kelengkapan administrasi daripada syarat-syarat substansial yang harus dipenuhi.

Kapasitas pelaksanaan kebijakan perizinan berbagai sektor berbasis hutan/lahan relatif jauh lebih rendah daripada besarnya kontestasi power untuk melakukan klaim penggunaan hutan/tanah negara itu. Akibat bekerjanya mekanisme pasar hutan/lahan dengan kelembagaan negara yang lemah praktis belum mampu mewujudkan ketertiban untuk menuju kelestarian dan keadilan pemanfaatan sumberdaya alam.

Dan yang menjadi korban sebagai masyarakat yang paling rentan, yaitu masyarakat adat dan lokal atau pendatang. Dengan kondisi sebagai korban yang rentan seperti itu, seringkali, bahkan, diposisikan sebagai sumber masalah.

Kondisi seperti itu sangat lama bertahan akibat sistem perizinan yang tertutup. Lokasi-lokasi izin, misalnya HGU, bahkan hingga saat ini masih dirahasiakan, walaupun Komisi Informasi Pusat, Mahkamah Agung, maupun Ombudsmen telah memerintahkan untuk membuka dokumen HGU tersebut bagi publik.

Penutup
Membaca persoalan kehutanan dan perkebunan sebaiknya sekaligus membaca persoalan pertambangan dan pertanian tanaman pangan serta semua sektor berbasis lahan lainnya.

Apalagi apabila dikaitkan dengan perubahan undang-undang yang sudah sektoral itu. Semua undang-undang berbasis lahan sebaiknya dicermati konsistensi satu dengan lainnya. Memaksa membacanya hanya dari kacamata kepentingan komoditas, bisa malah terpojok dan terpaksa menjawab pertanyaan yang keliru.

Fakta-fakta lapangan perlu ditelusuri dengan baik, serta sejauh mungkin dihindari kebenaran bias sejak dalam pikiran, yang biasanya akibat interest maupun framing yang menyaring atau memilih fakta mana yang layak digunakan. Praktek-praktek perizinan di lapangan ada yang baik ada yang buruk, serta ada korban-korbannya.

Framing informasi dapat menghasilkan kesalahan persepsi dan itu sudah cukup untuk menghalangi diperolehnya solusi. Seperti disebut Robert Jervis: … war can occur without misperception, but rarely. (● penulis: Hariadi Kartodihardjo)