Dr Lulie Melling : Soal Gambut, Pihak Barat Mau Membunuh Kita

DR Lulie Melling, Gambut sangat aman sebagai lokasi pengembangan kelapa sawit. Adapun sorotan gambut belakangan lebih dikarenakan pihak "barat" mau membunuh kita.

TROPIS.CO, JAKARTA – Dr Lulie Melling adalah wanita paruh baya, berpenampilan sangat bersahaja. Mungkin, sedikit wanita yang berprofesi seperti doktor lulusan Hookaido University, Jepang, ini. Profesi dan pekerjaan sehari harinya adalah mengurusi tanah gambut.

Berkat keahliannya dalam urusan gambut ini, wanita kelahiran Kuching Serawak, dipercayai untuk memegang jabatan penting di lingkungan Kerajaan Malaysia. Kini dia sebagai Direktur di pusat penelitian gambut tropis di Kementerian Pertanian Malaysia.

Jauh sebelumnya, Lulie yang mengawali karirnya sebagai officer riset sekaligus surveyor di Kementerian Pertanian Malaysia, dikenal sebagai sosok yang sangat aktif di Soil Secience Society, dan masyarakat gambut Malaysia dan sejumlah organisasi internartional lainnya.

Dia tercatat lebih dari 20 kali memimpin proyek riset mengenai potensi tanah gambut. Karenanya, tak usah heran tatkala dia menyampaikan paparannya tentang tanah gambut, terlihat sangat mumpuni.

Saat penyampaian paparan, Lulie sangat pandai membuat audensi tak bosan dan ngantuk. Terlebih bila audiennya itu kaum lelaki. Banyak kata katanya yang mengundang gelak tawa terbahak bahak. Kalimat teknis dalam pengelolaan tanah gambut selalu dibumbui dengan kata yang bernuansa kebutuhan lelaki.

“Kita harus mampu memahami lubang besar, lubang sempit, basah dan lembab,”katanya. Lubang besar, airnya cenderung banyak hingga selalu basah. Lubang sempit airnya cenderung lembab. “ Hannya kita jangan berimajinasi dengan lubang dan mampu memanfaatkan lubang,” ujar alumni Universitas Malaya lulusan tahun 1990 ini.

Penyampaian misi pengelolaan lambut dengan pendekatan lubang ini, bermula dari ibu seorang anak ini, menjadi pembicara dalam suatu seminar tentang ilmu tanah, di Serawak. Kala itu, judul materi seminarnya, “Big Lubang, Lubang Kecil”.

Karena yang menyampaikan wanita, dan audensinya kaum laki dari sejumlah eksekutif perusahaan perkebunan kelapa sawit lokal, tema yang dibawanya itu sangat mengena. Pola penyampaian dengan dibumbui humor yang menggelitik menjadi SOP tatkala Dr Lulie menyampaikan materi tentang lahan gambut.

Potensi Ekonomi Besar

Namun yang lebih sensasi lagi, ketika Lulie tampil sebagai narasumber mengulas tentang kondisi lahan gambut tropis yang juga audensinya para eksekutif muda dari sejumlah perusahaan kelapa sawit di Malaysia dan Serawak. Dengan judul makalah, “Aku akan Menunjukan kepada Anda, Bagaiamana Cara Menggunakan Lubang Anda,” telah membuat Lulie sebagai pakar lahan gambut kian populer.

Dia mengatakan, lahan gambut memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, terutama sebagai areal pengembangan kelapa sawit.

Melalui proses pelembaban dengan sistem pembuatan lubang lubang, dan dilakukan pemadatan , produktivitas sawit bisa mencapai rata rata 35 ton perhektar. “ Ini tentu jauh lebih tinggi ketimbang rata rata produktivitas tanah mineral yang hanya 25 ton per hektar,” katanya.

Dr Lulie mampu memberikan pemahaman yang benar terhadap potensi nasional, lahan gambut – yang belakangan ini banyak disorot pihak asing sebagai salah satu penyebab meningkatnya pemanasan global, dan konon oleh Presiden Joko Widodo, gambut yang selama ini telah menjadi sumber potensi ekonomi bangsa, pemanfaatannya bakal dihentikan sementara atau dimoratorium.

Dalam paparannya yang bertemakan “Potensi Ekonomi Lahan Gambut”, Dr Lulie menegaskan, sorotan pihak asing yang dilontarkan melalui NGOs itu, lebih diarahkan untuk membunuh perekonomian Indonesia dan Malaysia yang kini digerakan oleh ekonomi sawit. “Pihak Barat itu mau membunuh kita,” tegas Lulie.

Data yang disampaikan pihak barat tentang kerusakan lahan gambut sebagai akibat dijadikan pengembangan komoditi sawit sungguh sangat tak akurat. Penelitian yang mereka lakukan, tidak menggunakan teknologi yang benar.

Mengukur ke dalaman dan ketebalan gambut hanya dengan tangan, tidak memakai alat bor, atau teknologi yang lebih canggih.

“Mereka lebih banyak berimajinasi tentang gambut kita, bukan hasil temuan yang benar,” jelas Lulie sembari memperlihatkan melalui slide foto foto yang dilakukan pihak barat dan yang di lakukan Tropical peat research Malaysia.

“Coba kita lihat, apa cukup hanya dengan menggunakan tangan kosong untuk mengukur lubang yang besar, tak cukup, itu harus menggunakan alat yang benar, agar data yang diperoleh lebih akurat,” ungkapnya.

Dalam slide itu tampak foto lelaki bule berbaju kotak kotak, bertopi, lagi mengukur ketebalan gambut sembari memasukan tangannya di lubang yang penuh genangan air.

Sementara di foto sebelahnya, seorang wanita berkaca mata – yang tak lain adalah Dr Lulie Melling bersama sejumlah lelaki, lagi berada dalam lubang besar dengan air setinggi dada sambil memperhatikan angka angka yang ada di alat ukur.

Moratorium Tidak Tepat

Sungguh kebijakan yang tidak tepat, menurut Lulie, bila keinginan menghentikan sementara atau memoratorium hanya mendengarkan masukan pihak barat.

Sementara ahli ahli negeri sendiri yang bekerja atas loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya diabaikan. Suatu yang kurang bijak, bila tanah gambut tropis yang sebelumnya tidak dapat digunakan, kini telah menjadi kawasan pertanian dan perkebunan yang mampu menopang perekonomian bangsa, karena hasil dari sains dan inovasi teknologi.

“Sekarang sudah kita temukan teknologi nya, lalu tidak kita manfaatkan, padahal lahan gambut sangat berpotensi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi bangsa, apakah ini kebijakan yang tepat. Ini sangat keliru, dan tidak tepat, terlebih kebijakan moratorium itu, hanya bermula dari bisikan barat. Di Serawak gambut telah menjadi penopang ekonomi utama,” kata Lulie.

Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi Serawak yang dipaparkannya memang menggambarkan seperti itu. Lantaran pemanfaatan lahan gambut sebagai sentra pengembangan kelapa sawit, ekonomi Serawak naik berlipat ganda, dalam kurun 25 tahun terakhir. Karenan itu, sawit dianggap sebagai penyelamat ekonomi Malaysia.

Menurut Lulie, di Serawak saja, kini ada perkebunan kelapa sawit seluas 750.000 hektar di lahan gambut. Kemampuan produksi rata rata mencapai 25 ton per hektare. Bila harga sawit (TBS) kini sekitar RM500 per ton, maka setidaknya potensi pendapatan Serawak dari komoditas ini mencapai RM9,3 trilun. Artinya, pendapatan kerajaan dengan pajak penjualan lima persen, setiap tahunnya berkisar RM400-500 miliar.

Atas hasil yang diperoleh itu, bagi Malaysia, tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkan potensi alamnya sebagai percepatan pertumbuhan ekonomi bangsanya. Kekhawatiran pihak barat atas kerusakan gambut sebagai penyebab pemanasan global hanya merupakan kompetisi bisnis yang tidak sehat, lantaran berbagai keunggulan yang dimiliki komoditas kelapa sawit.

Apalagi mereka kini tahu, bahwa pengembangan kelapa sawit di areal gambut dengan sistem teknologi pengolahan tanah yang benar, memiliki kemampuan menggerakan ekonomi jauh lebih tinggi.

Oleh karena itu, melalui berbagai cara termasuk diplomasi tingkat tinggi, mereka berusaha menghambat laju pengembangan sawit dengan membawa berbagai isu lingkungan, kesehatan, yang dikaitkan dengan isu gas rumah kaca, dan pemanasan global.

Tudingan NGOs pemanfaatan lahan gambut sebagai lokasi pengembangan kelapa sawit bakal menyebabkan meningkatnya pemanasan global, dari hasil penelitian yang berulangkali dilakukanya, sama sekali tidak beralasan. Justru sebaliknya, dengan lahan gambut ditanami kelapa sawit, mampu menekan percepatan pemanasan global.

“Kita jangan mudah terpengaruh dengan hasutan pihak barat, karena kitalah yang tahu akan potensi kita,” tegas Lulie. (*)