Bencana Hidrometeorologi Jadi Indikasi DAS di Indonesia Telah Rusak

Direktur Jenderal Pengelolaan DAS IB. Putera Parthama menegaskan perlu kerja sama lintas sektoral untuk memulihkan DAS di Indonesia. Foto : KLHK
Direktur Jenderal Pengelolaan DAS IB. Putera Parthama menegaskan perlu kerja sama lintas sektoral untuk memulihkan DAS di Indonesia. Foto : KLHK

TROPIS.CO, JAKARTA – Berbagai bencana yang terjadi, khususnya bencana hidrometeorologi, menjadi indikasi bahwa daerah aliran sungai (DAS) di Tanah Air telah rusak. Di Indonesia sendiri terdapat total 17.076 DAS, sebanyak 2.145 DAS tergolong rusak/perlu dipulihkan, dimana setara dengan 106.884.471 hektare. Luasan lahan kritis di Indonesia yang merupakan bagian dari kerusakan DAS terdapat lebih kurang 14.006.450 hektare.

Fakta itu dipaparkan Direktur Jenderal Pengelolaan DAS, IB. Putera Parthama dalam acara Sosialisasi Gerakan Nasional Pemulihan (GNP) DAS di Auditorium Soedjarwo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Kamis (7/2/2019).

Putera menyatakan bahwa berbagai bencana yang terjadi khususnya bencana hidrometeorologi menjadi indikasi bahwa DAS di Indonesia telah rusak.

“Hal ini benar karena kerusakan DAS adalah awal dari berbagai bencana, yang jika ditinjau lebih jauh, maka penyebab kerusakan DAS berasal berbagai sektor yang salah dalam perencanaan dan implementasi tata ruang.”

“Hal ini menyebabkan cara kita meletakan pembangunan fisik dan penggunaan lahan lainnya tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan,” tuturnya.

Secara teori DAS dibagi menjadi tiga wilayah yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. Setiap bagian harus dikelola secara sinergis antarsektor dengan memperhatikan karakteristik wilayah berupa atribut bentang alam yang mencakup multi-aspek dan melibatkan banyak kepentingan terhadap daya dukung sumberdaya lahan yang tersedia.

Kerangka kerja konseptual yang dibangun harus jelas serta terukur potensi keberhasilannya, sehingga tidak bisa dibebankan pada satu sektor kehutanan dan lingkungan saja. Diperlukan pendekatan komprehensif yang dilaksanakan melalui KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi) lintas sektor.

“Sesuai tugas pokok dan fungsi, KLHK bertanggung jawab menangani bagian hulu, maka kegiatan rehabilitasi DAS yang rusak menjadi fokus dari tugas kita, ini merupakan bagian penting dalam pemulihan DAS, namun hal ini tidak dapat menghilangkan semua sebab,” ungkap Putera.

KLHK melalui Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, pada tahun 2019 akan melaksanakan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Pemulihan DAS seluas 206.000 hektare yang terletak pada 15 DAS prioritas, 15 Danau prioritas, 65 daerah tangkapan air (DTA) waduk, dan daerah rawan bencana yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sesuai RPJMN 2015-2019, DAS prioritas di antaranya DAS Citarum, Ciliwung, Cisadane, Serayu, Solo, Brantas, Asahan Toba, Siak, Musi, Way Sekampung, Way Seputih, Moyo, Kapuas, Jeneberang dan Saddang.

Sementara 15 danau prioritas adalah Danau Toba, Singkarak, Maninjau, Kerinci, Rawadanau, Rawapening, Sentarum, Kaskade Mahakam (Semayang, Melintang, Jeumpang), Limboto, Tondano, Poso, Matano, Tempe, Batur, dan Sentani.

Di sisi lain, GNP DAS, yang telah dicanangkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 29 Desember 2018, merupakan salah satu upaya merangkai upaya-upaya pemulihan DAS lintas sektor melalui corrective actions atas pelaksanaan program secara terpadu, mensinergikan potensi dan kekuatan lintas sektor, serta mengoptimalkan seluruh dukungan sumber daya yang tersedia di sekeliling kita.

Salah satu sinergi yang diharapkan dalam GNP DAS ini adalah sinergi antara penataan ruang yang berbasis pada mitigasi bencana yang dilakukan melalui konsolidasi perencanaan pembangunan di tingkat nasional hingga daerah dan penerapan kebijakan tata ruang yang terprogram melalui pendekatan bentang alam berbasis Daerah Aliran Sungai.

Mulai tahun 2019, sesuai arahan Presiden, KLHK melakukan tujuh langkah koreksi (corrective actions) dalam pemulihan DAS, yaitu: pertama dalam memulihkan DAS mengutamakan DAS dan danau prioritas, daerah tangkapan air (DTA) waduk dan daerah rawan bencana.

Kedua pelibatan masyarakat sejak setahun sebelum kegiatan dimulai (T-1), sehingga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat mulai pembibitan hingga penanaman dan pemilihan bibit yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan.

Selanjutnya, ketiga dengan melakukan pendampingan oleh ahli yang kompeten pada saat pelaksanaan kegiatan. Keempat melakukan monitoring yang lebih efektif oleh pengawas independen.

Kelima memanfaatkan teknologi informasi (aplikasi Sitar-Hutla, berbasis Android) untuk memonitor perkembangan kegiatan via citra satelit.

Keenam pemeliharaan tanaman yang intensif dengan memperhatikan prinsip-prinsip silvikultur, untuk mengubah lahan kritis menjadi hutan.

Ketujuh melakukan prioritas penanaman pada lokasi-lokasi yang ada pemangku/pengelolanya. (*)